Di banding masa perjuangan kemerdekaan hingga pemerintahan Orde Baru, peran orang Minang dan Sumatera Barat di era reformasi ini terasa sangat mundur. Sebagai masyarakat yang dikenal egaliter dan sangat demokratis, perlu dicari akar persoalan yang sedang dialami daerah ini.
Demikian salah satu benang merah yang mengapung dalam dialog kebangsaan Minang Kotemporer yang digelar Badan Koordinasi Kemasyarakat dan Kebudayaan Alam Minangkabau (BK3AM) Jakarta Raya, di Kampus Universitas Yarsi, Jakarta, Sabtu (24/10).
Pernyataan terjadinya kemunduran itu disampaikan dua pembicara dan satu penanggap dalam dialog yang dipandu Ketua Yayasan Yarsi, Prof. Dr. Jurnalis Udin, P.A.K. Pembicara Prof. Musril Zahari mengatakan bahwa para Datuk di Minangkabau saat ini semakin tidak dihargai lagi karena mereka memang sedang kehilangan wibawa.
Akibatnya, kata Musril, anak kemenakan di ranah tidak terawasi lagi secara baik dalam kehidupan bermasyarakat yang berbudaya dan beradat. “Di era saya, membonceng wanita bukan muhrim sangat ditakuti. Sekarang, apa yang hendak dikata. Permainan orgen tunggal yang berbau porno saja sudah berlangsung di hadapan kaum ninik mamak dan ulama,” katanya.
Penilaian Musril itu tak dibantah oleh moderator sendiri. Jurnalis menambahkan, dari 120 orang datuk yang ada di kampungnya di daerah Solok, 100 orang berada di rantau. “Jangankan mereka ini mengerti dengan masalah adat istiadat, berbahasa Minang saja tidak bisa,” sebut Jurnalis Udin.
Mundur Karena PRRI?
Cendekiawan Minang Dr. Saafroedin Bahar yang tampil sebagai pembicara kedua, mempertanyakan apakah kemunduran orang Minang dalam banyak segi itu karena pemberontakan PRRI?
Ketika Harun Zain menjadi Gubernur Sumbar pasca PRRI, kata Saaf yang pernah menjadi kepala penerangan Kodam 17 Agustus itu, memang menemukan rakyat yang sedang muno. Tak bergairah karena merasa menjadi orang kalah, sementara generasi mudanya banyak yang eksodus ke rantau.
Saaf mengakui bahwa PRRI waktu itu memang kurang strategi dan persiapan dalam melakukan perlawanan terhadap tentara pusat. “Belajar menembak dalam tempo satu jam memang bisa, tapi menjadi prajurit tentu tidak gampang,” katanya.
Terlepas orang Minang merasa tidak kalah dalam peristiwa PRRI, namun kenyataannya hingga sekarang masih banyak yang merasa kalah sehingga menjadi tak kreatif. “Saya lihat orang Batak dan Manado bangga dengan pemberontakannya, lantas mengapa kepala orang Minang masih menekur?” ujar Saafroedin, penggagas dibuatnya aturan tertulis tentang filosofi Adat Basyandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah (ABS-SBK) tersebut.
Wartawan senior Hasril Chaniago mencoba menanggapi bahwa PRRI bukan persoalan kalah menang, tetapi bagaimana orang Minang yang memiliki semangat egaliter, demokratis dan memang agak “karengkang” serta “gilo-gilo baso” berusaha menegur pemerintah pusat yang sudah banyak melakukan kekeliruan.
Penulis buku Auto Biografi tokoh PRRI Ahmad Husein itu menyebutkan bahwa apa yang diinginkan Dewan Banteng yang kemudian berubah wujud jadi PRRI itu sudah dilaksanakan di era reformasi sekarang, yaitu tentang otonomi daerah. “Jadi, untuk menegur kekeliruan pemerintah pusat memang diperlukan sikap sedikit karengkang dan gilo-gilo baso seperti Pak Ahmad Husein tersebut,” katanya.
Pada era sekarang, katanya, sebenarnya orang Minang tidak mundur, cuma memang tidak memperlihatkan sikap “karengkang”nya itu. Di era pemerintahan SBY, sebutnya, ada sembilan menteri di kabinet yang berasal dari Minang. Di era sekarang, meski jumlah menteri sendikit, namun yang memegang kekuasaan di tempat lain juga masih banyak.
Tapi, peneliti senior LIPPI, Prof. Taufik Abdullah dengan kening berkerut memang sangat heran dengan kondisi Minang sekarang. Sewaktu era terpimpin dan otoriter, Minang bisa maju. Buktinya, daerah ini bisa mendapatkan penghargaan Parasamya dan Prajojana, suatu penghargaan tertinggi dalam bidang pembangunan.
Lantas, mengapa di era reformasi sekarang, justru kita mundur ke rangking 20 di bidang pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan serta nomor 30 di bidang kebahagiaan. “Ada apa dengan Minangkabau yang semakin sejajar dengan provinsi di belahan timur sana,” katanya mempertanyakan. Ia mengharapkan perlu kajian mendalam soal itu.
Dr. Akmal Bagindo Basa dari UNP dan LKAAM Sumbar yang juga jadi penanggap, mengakui bahwa Minang kalah dalam memperjuangkan konsep, termasuk soal adanya usulan Daerah Istimewa Minangkabau (DIM). Kalau komsep DIM yang dikemukakan, kata dia, ini sangat berat, karena pertanyaannya adalah tentang apa yang diistimewakan. “Lantas, mengapa kita tidak mengedepankan konsep kebudayaannya. Ini pasti lebih diterima oleh Negara,” kata dia.
I really like looking through an article that will make people think.
Also, thank you for allowing for me to comment!