Pagang Gadai, Sebuah Perjanjian Utang Piutang Gadai Tempo Dulu di Ranah Minang

Pagang Gadai adalah istilah yang berasal dari budaya Minangkabau, yang merujuk pada salah satu bentuk tradisi atau praktik adat yang berkaitan dengan transaksi peminjaman uang atau barang. Dalam sistem pagang gadai, seseorang yang membutuhkan uang atau barang akan menyerahkan sesuatu sebagai jaminan kepada pihak yang meminjamkan. Biasanya, ini dilakukan untuk kepentingan tertentu, seperti untuk membayar hutang, modal usaha, atau kebutuhan mendesak lainnya. Setelah itu, pihak yang meminjamkan akan mendapatkan hak untuk menahan barang tersebut sampai utang atau kewajiban tersebut dilunasi.

Praktik ini mirip dengan sistem gadai pada umumnya, di mana barang yang digadai akan dikembalikan setelah utang dibayar. Namun, dalam konteks pagang gadai, seringkali ada aturan-aturan adat yang mengikat, dan proses tersebut dapat melibatkan pertimbangan nilai sosial, budaya, dan hubungan antar individu dalam masyarakat Minangkabau.

Selain sebagai jaminan, pagang gadai juga memiliki dimensi sosial yang erat, karena dapat berkaitan dengan kepercayaan, kekeluargaan, atau hubungan antara keluarga dan komunitas.

Perjanjian yang Ada Saksi

Pagang gadai adalah perjanjian kesepakatan dan kepercayaan antara penggadai dan pemberi pinjaman dalam tradisi adat Minangkabau. Kesepakatan ini dituangkan dalam dokumen tertulis yang ditandatangani oleh kedua pihak dan saksi-saksi.

Peneliti Pusat Riset Manuskrip, Literatur, dan Tradisi Lisan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Daratullaila Nasri mengatakan, di balik kesederhanaannya, pagang gadai mencerminkan cara unik budaya lokal. Terutama dalam menjaga harmoni melalui aturan adat.

“Di balik lembar kertas tua yang rapuh, tersimpan keunikan tentang keberagaman tanda tangan dalam surat pagang gadai,” kata Daratullaila, dalam keterangan tertulis, Sabtu (28/12/2024). Tanda tangan tersebut ada yang berbentuk lingkaran, tanda silang, cap jempol, nama yang ditulis dengan tangan gemetar, hingga simbol nama yang sudah agak konvensional.

Mengapa bentuk-bentuk itu begitu beragam? Dan, apa yang mereka kisahkan tentang masa lalu?

“Bagi masyarakat, tanda tangan bukan sekadar coretan tinta, tetapi cermin nilai-nilai adat, status sosial, dan tingkat literasi. Itu semua berbaur dalam satu perjanjian,” Daratullaila menjelaskan.

Keunikan ini tidak hanya membuka jendela ke tradisi lokal, tetapi juga mengungkapkan jejak sejarah yang lebih luas tentang bagaimana hukum adat dan kebiasaan bertahan di tengah pengaruh zaman.

Lebih lanjut Daratullaila menguraikan, ada ratusan manuskrip surat pagang gadai yang diamati, mulai 1844 hingga 1971-an. Manuskrip-manuskrip ini memperlihatkan keragaman tanda tangan yang digunakan oleh penggadai, pemberi pinjaman, saksi-saksi, dan juru tulis.

Berikut makna di balik keberagaman bentuk tanda tangan pada manuskrip surat pagang gadai:

Silang, Lingkaran, dan Kupu-Kupu

Sistem penulisan tanda tangan dalam bentuk silang, lingkaran, dan kupu-kupu adalah tanda tangan terletak di tengah nama.

Tanda tangan bentuk silang ini merupakan simbol yang paling tua dalam sejarah. Pada zaman Romawi Kuno (100-150), tanda tangan silang paling sering digunakan mereka yang tidak dapat menulis.

“Tanda tangan silang boleh dikatakan bentuk yang paling sederhana yang digunakan masyarakat. Selain itu, tanda silang menunjukkan bahwa penggunanya adalah rakyat biasa. Demikian pula halnya dengan bentuk lingkaran dan kupu-kupu,” kata Daratullaila.

Pada manuskrip surat pagang gadai, ketiga bentuk tanda tangan itu paling umum digunakan masyarakat Minangkabau pada 1800-an. Tanda tangan itu sepertinya hanya dituliskan langsung oleh juru tulis surat, seperti yang terlihat pada foto berikut ini.

Tanda tangan cap jempol (ampu jari kiri) yang terekam pada manuskrip surat pagang gadai baru mulai digunakan pada 1900-an atau abad ke-20. Penggunaan cap jempol pertama kali muncul di India yang tercatat pada abad ke-19. Tradisi ini diperkenalkan oleh kolonial Inggris.

Pada masa itu, pemerintah kolonial Inggris memperkenalkan sistem pencatatan dokumen yang membutuhkan tanda pengesahan. Sementara itu, sebagian besar penduduk India memiliki literasi sangat rendah sehingga banyak yang tidak bisa membaca dan menulis. Oleh karena itu, cap jempol digunakan sebagai pengganti tanda tangan.

“Dari segi konteks hukum, terutama yang melibatkan perjanjian tanah, cap jempol dianggap sebagai bukti sah dalam sistem hukum kolonial yang memerlukan otentikasi identitas,” Daratullaila menyebutkan.

Adapun penyebaran tanda tangan cap jempol ini ke Nusantara juga melalui kolonialisme. Sistem administrasi Hindia Belanda banyak mengambil inspirasi dari praktik Inggris di India, terutama dalam pengelolaan hukum agraria dan pencatatan transaksi.

Di Hindia Belanda (termasuk Minangkabu), praktik cap jempol mulai diterapkan tahun 1900-an atau awal abad ke-20, bersamaan dengan upaya kolonial Belanda mengintegrasikan hukum adat ke dalam hukum kolonial.

“Dari segi keamanan, cap jempol dianggap lebih sulit dipalsukan dibandingkan tanda tangan, sehingga menjadi solusi praktis dalam mengesahkan dokumen,” kata Daratullaila.

Nama dengan Aksara Arab dan Latin

Bentuk tanda tangan tulisan nama dengan aksara Arab dan Latin, merepresentasikan identitas ganda.

Pertama, tanda tangan itu menyimbolkan integrasi budaya, yakni kombinasi aksara Arab dan Latin, yang mencerminkan perpaduan dua sistem tulisan mewakili identitas budaya lokal (Islam atau tradisi Arab) dan pengaruh kolonial (Eropa).

Kedua, keselarasan tradisi dan modernitas. Dalam konteks tersebut, penggunaan aksara Arab menunjukkan penghormatan terhadap tradisi Islam. Sedangkan aksara Latin menandakan adaptasi terhadap sistem administrasi modern yang diperkenalkan oleh penjajah atau dunia internasional.

“Selain itu, jika dilihat dari status sosial dan literasi, tanda tangan Arab dan Latin menandakan bahwa pemiliknya memiliki tingkat literasi cukup tinggi dalam dua tradisi tulisan. Hal itu sekaligus menunjukkan status sosial tertentu, karena pada masa lalu tidak semua orang mampu menulis dalam kedua aksara tersebut,” tutur Daratullaila.

Dia menambahkan, makna lain yang mungkin bisa dikemukakan dari tanda tangan Arab dan Latin adalah sebagai simbol legitimasi dan kredibiltas, baik dalam lingkungan religius maupun administratif.

“Dalam lingkungan religius, penulis nama dengan aksara Arab mungkin diasosiasikan dengan nilai kejujuran dan keimanan. Sedangkan dalam lingkungan administratif, aksara Latin menegaskan legalitas tanda tangan dalam konteks sistem hukum atau administrasi modern,” tambahnya.

Simbol Unik Mewakili Identitas Personal

Tanda tangan simbol unik yang mewakili identitas personal adalah ekspresi autentik seseorang yang melampaui sekadar tulisan nama. Bentuk itu sering ditemukan dalam berbagai budaya dan periode sejarah, dengan makna yang beragam, baik simbolik, praktis, maupun estetis.

Tanda tangan bentuk ini, jelas Daratullaila, dapat dianggap mencerminkan karakteristik, kepribadian, atau posisi sosial pemiliknya.

“Dalam beberapa kasus, tanda tangan simbolik berfungsi sebagai ‘logo pribadi’ atau yang mengidentifikasi dokumen sebagai milik atau hasil persetujuan seseorang,” katanya.

Daratullaila menjelaskan beberapa hal yang menjadi keunggulan dan fungsi bentuk tanda tangan simbol unik ini. Pertama, keunikan. Simbol yang dirancang secara personal sulit dipalsukan, sehingga memberikan keamanan tambahan pada dokumen.

Kedua, kemudahan penggunaan. Simbol ini dapat digunakan oleh individu yang tidak memiliki kemampuan literasi, sehingga menjadi alternatif praktis dibandingkan dengan tanda tangan tulisan.

Ketiga, penyampaian makna. Simbol tertentu dapat menyampaikan pesan atau nilai yang ingin dikaitkan dengan pemiliknya, seperti kekuatan, keberanian, dan ketulusan.

Keberagaman bentuk tanda tangan dalam surat perjanjian pagang gadai pada manuskrip Minangkabau mencerminkan dinamika budaya, sejarah, dan nilai-nilai sosial masyarakatnya.

“Dari tanda silang, lingkaran yang sederhana, model kupu-kupu sudah mulai berbentuk, hingga simbol unik dan cap jempol, serta bentuk tulisan Arab dan Latin, masing-masing memiliki konteks dan makna tersendiri. Evolusi ini tidak hanya menunjukkan adaptasi masyarakat terhadap perubahan zaman dan pengaruh kolonial, tetapi juga menggarisbawahi pentingnya identitas personal, tingkat literasi, dan status sosial dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Daratullaila.

Beragam bentuk tanda tangan ini menjadi bukti nyata bagaimana tradisi lokal dapat menyerap pengaruh eksternal tanpa kehilangan nilai-nilai khasnya, menciptakan jejak historis yang sarat makna di setiap lembar perjanjian. [sumber : RRI]

Related Posts

Leave a Reply