Di wilayah pesisir barat Minangkabau, khususnya di daerah Pariaman, terdapat sebuah tradisi tahunan yang unik dan penuh kontroversi: Hoyak Hosen atau sering disebut juga Tabuik. Tradisi ini adalah sebuah perayaan berkabung dan memorialisasi yang kompleks, mencerminkan adanya akulturasi budaya Islam lokal dengan narasi sejarah yang tragis dan universal.
Hoyak Hosen merupakan manifestasi budaya yang dibawa oleh komunitas Syiah yang berdiam di wilayah tersebut, utamanya para keturunan imigran dari Persia atau India, dan kini telah menyatu dengan kebiasaan adat masyarakat Minangkabau. Tradisi ini diadakan setiap tahun pada bulan Muharram, sebagai peringatan atas martir Sayyidina Husain bin Ali, cucu Nabi Muhammad, yang gugur dalam Perang Karbala pada tahun 680 Masehi.
Tabuik: Simbolisasi Kematian dan Kendaraan Surga
Inti dari perayaan Hoyak Hosen adalah pembuatan dan pengarakkan Tabuik. Tabuik adalah struktur monumental berbentuk menara atau keranda jenazah simbolis, yang terbuat dari kerangka bambu, rotan, dan kayu, dihiasi dengan kertas berwarna, bunga, dan ornamen yang meriah.
Secara filosofis, Tabuik merepresentasikan dua hal utama: pertama, peti jenazah Husain yang dibawa dari medan Karbala; dan kedua, kendaraan yang membawa arwah Husain menuju surga. Proses pembuatan Tabuik, yang memakan waktu berhari-hari, dilakukan secara gotong royong dan dibagi menjadi dua bagian utama yang sering disebut Tabuik Pasa dan Tabuik Subarang, melambangkan pembagian wilayah adat atau kelompok di Pariaman. Prosesi ini menuntut ketekunan dan kerelaan berkorban dari komunitas.
Ritual Hoyak: Ekstase dan Pelepasan Duka
Tahap paling dramatis dan menjadi asal nama Hoyak Hosen (menggoyang Husain) adalah ritual pengarakkan Tabuik. Ribuan orang akan berkumpul dan mengikuti iring-iringan Tabuik yang diangkat tinggi-tinggi oleh puluhan laki-laki.
Pengarakkan ini ditandai dengan gerakan “hoyak” atau menggoyang-goyangkan Tabuik secara ritmis dan energik diiringi dentuman musik gendang tradisional (gendang tasa atau dol). Gerakan menggoyang ini melambangkan perasaan duka, kemarahan, dan ekstase kolektif atas kematian Husain. Irama gendang yang cepat dan memacu adrenalin menciptakan suasana yang intens, mengajak partisipan untuk larut dalam emosi sejarah.
Ritual ini mencapai puncaknya pada malam menjelang tanggal 10 Muharram, di mana dua Tabuik dari kelompok yang berbeda dipertemukan untuk melakukan ritual ‘perang’ simbolis (hoyak manyamput) sebelum akhirnya dilepas atau dibuang ke laut/sungai. Pelepasan Tabuik ke air melambangkan pengembalian simbolik jasad suci ke tempat asalnya.
Sinkretisme Budaya dan Respon Adat
Meskipun akar sejarahnya berasal dari tradisi Syiah, Hoyak Hosen di Pariaman telah melalui proses sinkretisme yang mendalam dengan budaya lokal Minangkabau. Unsur-unsur adat Melayu, seperti pakaian, tarian, dan interaksi sosial yang diatur oleh adat, telah menyatu dalam perayaan.
Namun, tradisi ini juga tidak luput dari perdebatan di kalangan ulama dan tetua adat Minangkabau yang berpegang teguh pada mazhab Syafi’i (Sunni), khususnya mengenai unsur-unsur non-Islam yang dianggap menyertai ritual tersebut. Bagi sebagian besar masyarakat lokal kontemporer, Hoyak Hosen telah bertransformasi menjadi pesta budaya tahunan yang merayakan identitas komunal dan menjadi daya tarik pariwisata, dengan makna keagamaan yang semakin menipis dan bergeser ke ranah estetika dan tradisi leluhur.
Hoyak Hosen atau Tabuik, dengan segala kontradiksi dan kemegahannya, adalah narasi visual tentang bagaimana sejarah, iman, dan adat lokal dapat bertemu, menciptakan sebuah warisan budaya yang unik, intens, dan abadi di pesisir barat Minangkabau.



