Itiak Lado Mudo, Rahasia Kuliner ‘Bebek Hijau’ di Ketinggian Ranah Minang

Udara dingin pegunungan Bukittinggi selalu membawa aroma khas. Bukan sekadar aroma pinus, tetapi wangi rempah yang menyeruak dari dapur-dapur tradisional, sebuah janji akan kekayaan rasa yang tak tertandingi. Di balik bayang-bayang kejayaan Rendang yang mendunia, di Dataran Tinggi Minang, tersembunyi sebuah legenda kuliner dengan warna yang berbeda yaitu Gulai Itiak Lado Mudo, kuliner berbahan dasar Bebek yang dibalut dengan cabe hijau.

Ini bukan sekadar resep. Ini adalah kisah tentang kearifan lokal, tentang kesabaran, dan tentang cinta Ranah Minang terhadap harmoni rasa.

Langkah pertama dalam memahami gulai ini adalah berkenalan dengan pemeran utamanya Itiak (bebek).

Di daerah Payakumbuh atau Koto Gadang, Itiak bukanlah unggas yang hanya dipelihara di kandang. Mereka dibiarkan bebas merumput, mencari makan di sawah-sawah berlumpur pascapanen. Kondisi alam inilah yang menghasilkan daging bebek muda yang begitu istimewa, lembut, rendah lemak, dan minim bau amis, menjadikannya kanvas sempurna untuk rempah-rempah Minang.

Para Bundo Kanduang (Ibu-ibu Minang) tahu betul, kualitas terbaik datang dari proses alami. Bebek disiapkan dengan cara pembersihan yang cermat, memastikan setiap serat daging siap menyerap setiap tetes bumbu. Tanpa bebek yang sempurna, si Bebek Hijau hanyalah masakan biasa.

Dari Lado Mudo Menjadi Kuliner Legendaris

Begitu kita melangkah ke dapur tempat Itiak Lado Mudo dibuat, kita akan disergap oleh warna yang mengejutkan. Bukan merah menyala dari cabai merah keriting, melainkan warna hijau cerah yang mendominasi, berasal dari Lado Mudo (cabai hijau besar dan cabai rawit hijau).

Inilah jiwa dari hidangan ini. Cabai hijau memberikan sensasi pedas yang berbeda, bukan panas yang membakar, melainkan pedas yang segar, beraroma grassy, dan memungkinkan kita untuk tetap menikmati kedalaman rempah lainnya.

Bumbu gulai lantas diolah dalam prosesi memasak yang sarat makna:

  • Rempah yang Menyatu: Kunyit, jahe, lengkuas, dan serai dihaluskan bersama daun kunyit dan daun jeruk, berpadu dengan santan segar dari kelapa parutan terbaik.

  • Proses yang Sabar: Bebek dan bumbu dimasak perlahan dalam waktu yang lama. Kuah yang tadinya encer, akan menyusut, mengental, dan “galak-galak” (mendidih riang) di atas api hingga mencapai konsistensi macak-macak (agak kering atau sangat kental).

Proses panjang ini memastikan tidak ada bagian daging bebek yang luput dari pelukan bumbu. Daging yang dulunya liat, kini menjadi empuk, siap melepaskan kenikmatan pedas-gurih yang meresap hingga ke tulang.

Sehelai Kisah di Setiap Suapan

Samba Itiak Lado Mudo bukan hidangan yang tercipta untuk buru-buru. Ia adalah cerminan filosofi Minang yang menghargai proses dan mencapai keseimbangan.

Dahulu, hidangan ini adalah lambang kehormatan. Ia disajikan di puncak acara adat, menjadi persembahan bagi tetua dan tamu penting. Rasa pedasnya mengingatkan pada karakter orang Minang yang tegas dan berani, sementara gurihnya santan melambangkan kemakmuran dan keramahan.

Ketika Anda menemukan sepiring Itiak Lado Mudo di salah satu kedai Nasi Kapau di Bukittinggi, berhentilah sejenak. Ambilah nasi hangat, letakkan sepotong bebek yang terbalut kuah hijau kental yang berminyak, dan cicipi.

Anda tidak hanya sedang memakan bebek cabai hijau. Anda sedang merasakan sejuknya udara Dataran Tinggi, kesabaran para Bundo dalam mengolah rempah, dan warisan rasa otentik yang menolak untuk disamarkan oleh tren.

Gulai Itiak Lado Mudo adalah mahakarya kuliner yang bisu, menunggu Anda untuk menyingkapnya. Ia adalah rasa Minang yang sejati, tersimpan apik dalam warna hijau yang misterius.

Related Posts

Leave a Reply