Dalam siklus kehidupan dan pembangunan di Minangkabau, terdapat serangkaian ritual adat yang menyertai setiap tahapan penting. Salah satu upacara yang memiliki makna mendalam dan filosofis adalah Batagak Kudo-Kudo. Secara harfiah, frasa ini berarti “mendirikan kuda-kuda,” merujuk pada ritual pemasangan rangka utama atau kerangka atap sebuah bangunan, khususnya Rumah Gadang atau rumah tinggal baru.
Batagak Kudo-Kudo melambangkan fase krusial dalam pembangunan, saat kerangka bangunan telah berdiri kokoh, menandakan bahwa proses pembangunan fisik akan segera beralih ke tahap penyelesaian. Namun, lebih dari sekadar teknis konstruksi, ritual ini adalah perayaan sosial dan penegasan status kaum di tengah nagari.
Filosofi Kudo-Kudo: Pilar dan Tanggung Jawab
Dalam konteks arsitektur tradisional Minangkabau, kudo-kudo (kerangka atap) adalah struktur yang menjamin kekuatan dan ketahanan atap. Kerangka ini harus dipasang dengan presisi dan kokoh, sebab ia yang akan menopang beban berat atap gonjong yang khas.
Secara filosofis, ritual Batagak Kudo-Kudo merepresentasikan tegaknya martabat dan kehormatan suatu kaum. Sebagaimana kerangka atap harus kuat menahan cuaca, demikian pula kaum yang mendirikan rumah tersebut harus memiliki ketahanan sosial dan ekonomi. Ritual ini menjadi penanda bahwa kaum tersebut telah mencapai kematangan dan mampu menjalankan tanggung jawabnya sebagai anggota nagari.
Pemasangan kerangka atap ini juga melambangkan penyatuan kembali seluruh anggota kaum. Upacara ini menjadi wadah basuluah bendang (mencari terang/kebijaksanaan) dari Ninik Mamak (tetua adat) dan Alim Ulama (pemuka agama) untuk memberikan restu dan doa agar rumah yang dibangun menjadi tempat yang barakaik (penuh berkah).
Ritual dan Peran Komunal
Pelaksanaan Batagak Kudo-Kudo adalah peristiwa komunal yang melibatkan seluruh anggota kaum, kerabat, dan tetangga. Ini adalah manifestasi nyata dari tradisi gotong royong, khususnya dalam bentuk batobo atau manolong.
Persiapan diawali dengan musyawarah untuk menentukan hari baik, diikuti dengan pengumpulan bahan. Pada hari pelaksanaan, pemasangan tiang utama hingga kerangka atap dilakukan oleh para tukang yang ahli, namun seluruh masyarakat berpartisipasi dalam menyediakan logistik dan dukungan moral. Puncak ritualnya adalah saat kerangka atap utama diposisikan dan dikunci.
Saat kudo-kudo tegak, biasanya dilakukan pembacaan doa yang dipimpin oleh Alim Ulama. Serangkaian sesajen adat (seperti nasi kuning atau lamang) juga disiapkan sebagai simbol syukur atas kelancaran proses. Unsur-unsur adat ini memastikan bahwa pembangunan fisik selaras dengan tuntutan spiritual dan etika komunal.
Harapan dan Doa di Bawah Gonjong
Setelah kerangka atap berdiri, yang menjadi ciri khas adalah pemasangan gonjong (atap melengkung runcing), yang akan menyempurnakan bentuk Rumah Gadang. Tegaknya gonjong bukan hanya tentang arsitektur; ia melambangkan arah kiblat bagi kehidupan kaum, sebagaimana atap yang mengarah ke atas.
Batagak Kudo-Kudo, oleh karena itu, adalah harapan kolektif. Harapan agar rumah baru ini menjadi tempat yang aman, damai, dan penuh berkah; tempat di mana Bundo Kanduang (ibu sejati) dapat melahirkan dan mendidik generasi penerus yang berpegang teguh pada adat.
Dengan demikian, Batagak Kudo-Kudo adalah sebuah perayaan atas kegigihan, kesatuan, dan keberlanjutan kaum. Ia menandai bahwa sebuah keluarga atau kaum telah berhasil menancapkan eksistensinya secara fisik dan simbolis di tengah nagari, siap menjadi pilar baru yang kokoh dalam menopang struktur adat Minangkabau.

