Site icon Sari Bundo Masakan Padang

Randai, Tradisi Minangkabau Penjaga Generasi Muda dari Huru-Hara

Randai, Tradisi Minangkabau Penjaga Generasi Muda dari Huru-Hara

Randai adalah satu dari sekian banyak tradisi seni pertunjukan Minangkabau yang sudah populer secara turun-temurun di lintas generasi. Pola permainannya nyaris sama dengan panggung teater. Dimainkan sejumlah orang, diiringi musik, tarian dan drama. Bedanya, tarian ini justru dimainkan dengan unsur gerakan silek (silat) Minangkabau. Begitu juga dengan pakaiannya menggunakan galembong (celana hitam berukuran besar), persis yang digunakan pandeka (pendekar) Minang dalam bersilat.

Hingga kini, tradisi randai masih hidup di 19 kabupaten/kota Sumatera Barat (Sumbar). Namun, intesitasnya tidak seriuh generasi era 80-an. Tak lagi banyak pemuda nagari (sebutan lain setingkat desa) yang menghidupkan panggung di tengah-tengah kampung. Kini mayoritas randai aktif di tangan sanggar-sanggar komersial yang justru tampil kala perhelatan akbar saja.

Berangkat dari keprihatin itu, sejumlah anak muda di Nagari Rawang Gunung Malelo Surantih, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumbar menginisiasi lahirnya sebuah sasaran (gelanggang) yang tujuan utamanya menjaga randai agar tidak terus dilindas roda zaman.

Bermodal semangat, pada 2011 lahirlah sasaran yang diberi nama “Sanggar Randai Arai Pinang” di Nagari Rawang Gunung Malelo Surantih. Merawat Sanggar Randai ini agar tetap aktif, ternyata membutuhkan kegigihan dan kebersamaan yang tinggi. Sebab kini randai hidup di era yang dominan dikuasai teknologi.

“Kami hadir di tengah riuh candu gadget mendera remaja dan anak muda. Tidak gampang memang mengajak mereka (anak-anak muda) untuk kembali menyemarakkan tradisi yang justru beken 3 dekade silam,” terang Debi Virnando, 30, salah seorang tokoh pemuda Nagari Rawang Gunung Malelo Surantih, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan, 30, kepada JawaPos.com, Rabu (29/8).

Sebagai salah seorang pendiri Sanggar Arai Pinang, Debi sangat memahami susahnya panggung randainya tersebut untuk tetap aktif hingga saat ini. Bahkan, gerakan Sanggar Randai ini dimulai dengan modal uang sebesar Rp 8 ribu. Tak sedikit juga celaan pesimistis dari kalangan masyarakat menghantam semangat anak-anak muda tersebut.

“Kami minta sumbangan kepada masyarakat. Ikut menongkang padi warga dan upahnya kami jadikan kas sanggar,” terang lulusan UIN Imam Bonjol Padang itu.

Namun, Debi dan kawan-kawan penggawa Sanggar Arai Pinang ingin terus melihat Randai berjaya dan menjadi tontonan generasi muda Minangkabau. Mereka tak gampang menyerah dan terus berjalan meski diterpa rintangan dan ejekan miring.

Menurut Debi, cikal-bakal lahirnya Sanggar Arai Pinang ini semula untuk mewadahi aktivitas remaja yang saat ini nyaris tak lagi mengenal tradisi lama. Mayoritas pemuda beranggapan randai itu tradisi kuno dan tidak relevan lagi dipertontonkan di dunia yang sudah dikeranyangi semua permainan
digitialisasi.
“Remaja dibius tontonan Boyband dan sebagainya yang jelas-jelas bukan budaya kita. Kondisi ini menimbulkan kecemasan kami dan tetua Nagari,” katanya.

Wadah ini hadir untuk mengantisipasi hal tersebut. Sanggar Randai Arai Pinang ingin mengembalikan jati diri generasi Minang yang mencintai budaya sendiri. Bahkan, sasaran randai diyakini mampu menekan huru-hara dan bersilewerannya remaja di malam Minggu.

Lebih lanjut, Debi yang kini menjadi pembina Sanggar tersebut mengatakan, menekan riuhnya pergaulan muda-mudi di setiap akhir pekan, sasaran Arai Pinang justru menggelar latihan pada Sabtu malam. “Senin sampai Sabtu pelajar sekolah. Nah, malam minggunya mereka latihan dan menonton randai. Jadi sempit ruang untuk berhuru yang tidak jelas,” katanya.

Anggota Randai Wajib Ramaikan Masjid

Seiring berjalan waktu, bahkan setelah eksis hampir 7 tahun berlalu, Sanggar Arai Pinang mulai mendapat tempat dan simpati masyarakat. Tetua kampung Nagari Rawang Gunung Malelo Surantih, Kecamatan Sutera, Kabupaten Pesisir Selatan pun turut terlibat menyemangati gerakan pelestarian seni tradisi Minangkabau itu.

Bahkan, latihan yang jumlah anggotanya lebih 70 orang itu kini terbagi tiga kelompok. Mulai dari anak-anak, remaja dan dewasa. “Sekarang tiap malam minggu, ramai sekali remaja yang datang ke sasaran Randai Arai Pinang. Ada yang memang anggota, banyak juga yang sekedar menikmati,” kata Debi.

Merangsang aktifnya sasaran lain di berbagai Nagari, Sanggar Arai Pinang pun mencoba setiap tahunnya menggelar iven Randai dari tingkat Kecamatan hingga tingkat Kabupaten Pesisir Selatan. Baru-baru ini, tepatnya sejak tanggal 18 hingga 27 Agustus 2018, Sanggar Arai Pinang juga menggelar festival Randai.

“Kini, sudah banyak sasaran randai aktif di Kecamatan Sutera. Paling tidak terdata ada 13,” timpal pembina Sanggar Arai Pinang lainnya, Jhoni Abdul Kasir, 34.

Menurut Jhoni, pesan drama yang ditampilkan dalam pertunjukkan randai sangat menuntun kebaikan. Sebab, cerita kisah yang di dramakan menyangkut sejarah dan hikayat Minangkabau. Seperti Sabai Nan Aluih, Cindua Mato, Gombang Sati dan sebagainya. Cerita yang memang menggambarkan kondisi dan sikap orang Minang itu sendiri. “Kini juga sudah banyak cerita di lingkup kampung masing-masing yang di angkat dalam tema drama randai,” bebernya.

Ketua Sanggar Randai Arai Pinang, Ramadhan mengatakan, saat ini pihaknya sudah membentuk sasaran-sasaran baru di sejumlah kampung di kawasan Kecamatan Sutera. “Alhamdulillah, kian diminati dan kami terus berupaya mengembangkannya agar tetap dicintai,” katanya.

Di sisi lain, selain melestarikan tradisi, Sanggar Arai Pinang juga membekali seluruh anggota terutama generasi muda dengan ilmu agama. Sanggar ini juga membentuk remaja masjid yang rutin menggelar pengajian jumat malam, dan itu berlangsung setiap pekan.

“Kita berlakukan absensi. Bagi yang tidak hadir kegiatan remaja masjid tanpa alasan jelas, tidak diperkenankan ikut latihan. Itu aturan untuk semua aggota Sanggar Arai Pinang,” tegas Ramadhan.

Salah seorang tokoh masyarakat Nagari Rawang Gunung Malelo Surantih, Mawas mengatakan, kehadiran Sanggar Arai Pinang seakan membawa harapan baru bagi Nagari. Apalagi, para pemuda tidak sekedar menjaga tradisi, namun turut menanamkan nilai keagamaan dalam diri anggota Randai.

“Dulu kampung kami tak dikenal. Karena sanggar ini, nama nagari kian dikenal di Sumbar. Mereka (pemuda) membuat kami bangga dengan prestasi yang juga merawat tradisi Minang,” katanya.

Apresiasi serupa juga disampaikan Wali Nagari Rawang Gunung Malelo Surantih, Afrizal. Menurutnya, di era ini, teramat susah ditemui pemuda dengan semangat tanpa pamrih mampu menghidupkan kesenian tradisional. “Di tengah generasi muda lain sibuk huru-hara, generasi muda kami hadir dengan kegiatan positif. Semoga semangat ini terus terjaga dan kian berkembang,” tuturnya. sumber

Exit mobile version