Site icon Sari Bundo Masakan Padang

Penjelasan Konsep ‘Samo’ & ‘Basamo’ di Budaya Minangkabau

duduak basamo budaya minangkabau

SARIBUNDO.BIZ – Belum jelas, setelah setahun konsep “revolusi mental” dikampanyekan, seperti apa wujud dan implementasinya. Bila ditilik dari teori-teori perubahan sosial budaya yang ada, kata “revolusi” relevan dengan materialisme budaya. Dalam paradigma teori Marxian itu, perubahan budaya dimulai dari infrastruktur material terus merambat ke struktur sosial dan seterusnya ke superstruktur ideologis. Infrastruktur material adalah bagian yang paling strategis dalam melakukan perubahan, yakni demografi, ekologi, teknologi, dan ekonomi. Dengan kata lain, keempat bidang itulah penentu utama bagi perubahan struktur sosial dan seterusnya ke perubahan superstruktur ideologis. Revolusi industri di Eropa dan Amerika adalah bentuk verifikasi terhadap teori materialisme budaya itu. Walaupun demikian, pencetus teori tersebut (Marx, Engels dan Marvin Harris) tidak mengklaim teorinya sebagai teori “revolusi” tetapi hanya “evolusi” sosial budaya atau sosio kultural.

Setelah mencoba mencermati apa yang dimaksud dengan “revolusi mental” dari berbagai pernyataan pencetus dan pendukung, diperoleh gambaran bahwa yang dimaksud dengan istilah tersebut adalah menjunjung tinggi nilai integritas, etos kerja, dan gotong royong sebagai unsur karakter bangsa. Bila itu yang dimaksud maka tentulah tidak ada yang baru dalam revolusi mental. Tidak berlebihan kalau beberapa kalangan menilai konsep revolusi mental hanyalah branding ide semata.

Bila dicermati lebih jauh, branding “revolusi mental” itu sesungguhnya mendukung paradigma idealisme budaya. Idealisme budaya memandang bahwa perubahan sosial budaya dimulai dari perubahan ideologi, yang dalam tataran tertentu disebut mindset. Konsep itu pula yang digunakan dalam tindakan “cuci otak” untuk mengubah perilaku seseorang. Apakah memang yang dikehendaki dalam “gerakan revolusi mental” tersebut adalah aktivitas-aktivitas “cuci otak” agar anak bangsa ini berubah perilakunya sesuai dengan yang diharapkan? Namun, bukankah integritas, etos kerja dan gotong royong adalah nilai-nilai yang built in di dalam budaya Indonesia (budaya-budaya lokal di Nusantara)?

Bila itu yang dimaksud maka asumsinya adalah bahwa orang Indonesia telah meninggalkan nilai-nilai budaya luhur mereka sehingga diperlukan gerakan “segera” (revolusioner) untuk mengembalikannya. Seterusnya, bila hal itu yang terjadi maka tentulah yang seyogianya dilakukan adalah revitalisasi nilai sosial budaya Indonesia itu. Walaupun kata “revitalisasi” itu telah caie digunakan, hemat saya, kata itu lebih tepat digunakan daripada melakukan branding ide tapi maknanya “zero”. Entahlah. Tulisan ini hendak menjelaskan dua konsep dasar yang merefleksikan kearifan integritas, etos kerja dan kegotong-royongan dalam Budaya Minangkabau.

Konsep Samo dan Basamo

Ada dua konsep yang sepintas hanyalah biasa-biasa saja. Akan tetapi, bila dicermati lebih dalam, keduanya menunjukkan sistem nilai dasar Budaya Minangkabau yang menjadi ideologi masyarakatnya. Kedua konsep itu adalah samo dan basamo.

Kedua konsep itu berbeda orientasi dan makna tetapi sering digunakan dalam bentuk yang sama, yaitu “samo”. Penggunaan kedua konsep tersebut dapat ditemui dalam berbagai ungkapan tradisional, yang masih digunakan hingga saat ini. Kedua konsep itu membentuk dua kutub dengan orientasi individual dan sosial sebagai berikut:

  1. Orientasi individual

Konsep “samo” pertama berorientasi individual. Konsep itu ditemui dalam beberapa ungkapan sebagai berikut.

  1. Orientasi Sosial

Konsep “samo” kedua berorientasi sosial, maknanya “basamo” ‘bersama’ sebagaimana terdapat dalam beberapa ungkapan sebagai berikut.

Refleksi Nilai “Harga Diri” dan “Budi”

Konsep “samo” dan “basamo” di atas berimplikasi dengan nilai “harga diri” dan “budi”. Kedua nilai itu menuntun orang Minangkabau menjadi makhluk egalitarian yang berbudi.

Nilai “harga diri” mendorong individu untuk selalu bersaing dengan individu lain. Etos persaingan adalah baa di urang baa di awak ‘bagaimana orang (mampu) begitu pula kita (semestinya)’. Dinamika persaingan adalah kok indak ka labiah dari urang sakurang-kurangnyo adolah samo ‘jika tidak mampu melebihi orang lain, setidaknya kita mampu untuk sama dengan orang lain’. Dalam bentuk yang ekstrim malah diungkapkan: jan ka kalah, podo se ndak nio ‘jangankan kalah dari orang lain, sama saja tidak mau’. Apabila seseorang tidak mampu untuk sama dengan atau melebihi orang lain maka seseorang itu disebut “urang kurang” atau “pecundang”. Oleh karena itu setiap individu dan kelompok dipacu untuk selalu bersaing satu sama lain secara terus menerus. Nilai itu merupakan dasar dari etos kerja.

Etos bersaing begitu kuat dalam diri orang Minangkabu sehingga kompetitor bahkan tidak mesti riilatau nyata. Ketika dihadapkan pada realita tidak adanya pesaing, seseorang dituntut untuk kreatif menciptakan lawan imajiner, yaitu lawan ciptaan untuk dikalahkan. Hal itu terefleksi dalam ungkapanbajalan surang nak daulu ‘berjalan seorang hendak dahulu’. Artinya, riilnya ketika bajalan surang‘berjalan sendiri’ jelas tidak ada lawan, tidak ada kompetisi dan tidak ada pemenang. Akan tetapi, kreatifitas menciptakan lawan imajiner menghasilkan energi yang mendorong seorang individu tetap beretos tinggi, bekerja keras, dan sukses.

Dengan demikian, perbedaan dan persaingan disadari sebagai sebuah keniscayaan. Persaingan terus menerus tentu berpotensi menimbulkan perpecahan sosial. Perbedaan, persaingan dan konflik mesti dikontrol. Oleh sebab itu, diperlukan “budi”, yaitu sistem nilai yang berfungsi mengatur agar kebebasan individual tidak mengancam dinamika harmoni sosial. Dari nilai “budi” itulah diturunkan tata norma berperasaan dan berperilaku. Tata norma yang diturunkan itu adalah malu jo sopan, raso-pareso, hereng-gendeang. Norma malu jo sopan menuntun seseorang tahu diri dan berperilaku baik.Raso (perasaan, pertimbangan emosional) dan pareso (periksa, pertimbangan rasional) menuntun kepada tindakan arif dan bijaksana. Hereang-gendeang adalah norma yang mengatur seseorang untuk bertindak pada waktu yang tepat dan meletakkan sesuatu pada tempatnya (patut).

Lebih lanjut, konsep “basamo” merefleksikan kegotongroyongan. Nilai gotong royong tidak saja dalam bekerja tetapi juga tanggung jawab, menanggung resiko, membagi hasil secara adil, dan memberi solusi bagi kesulitan dan kesempitan orang lain. Dengan deemikian, kepentingan bersama mesti lebih diutamakan daripada kepentingan individu atau kelompok parsial. Dalam konteks ini, nilai integritas inheren di dalamnya.

Dinamika sosio kultural yang dibangun dengan konsep “samo” dan “basamo” melahirkan kehidupan yang harmoni dan dinamis, yaitu kehidupan yang seimbang tetapi tidak statis. Dalam konteks lebih luas, konsep tersebut menjadikan orang Minangkabau inklusif dan adaptif dalam interaksi dengan etnik atau komunitas lain. Prinsip mereka “Tagak basuku mamaga suku, tagak banagari mamaga nagari, tagak babangso mamg bangso ‘tegak bersuku memagar suku, tegak bernagari memagar nagari, tegak berbangsa memagar bangsa’. Artinya, integritas berkebangsaan sesuai ajaran budaya Minangkabau itu tidak perlu diragukan.

Revitalisasi Nilai bagi Penguatan Karakter

Persoalnnya, apakah generasi muda Minangkabau hari ini memahami konsep dan nilai budaya leluhurnya dengan baik? Bila memahami saja tidak, apalagi menghayati dan mengamalkannya? Untuk itu, diperlukan tindakan rekonstruksi dan revitalisasi. Tentu saja hal itu memerlukan proses, sebagaimana budaya diturunkan melalui proses “belajar” maka tidaklah mungkin proses itu berlangsung secara revolusioner.

* Penulis adalah Doktor Kajian Budaya Minangkabau dan Wakil Dekan III Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas sumber

Exit mobile version