Masyarakat minangkabau sudah dikenal karena Egalitarian dalam kehidupan sosial politik. Hal itu sesuai dengan filosofi “duduak sahamparan tagak sapamatang” atau “duduak samo randah tagak samo tinggi” yang berarti berdiri sama rendah berdiri sama tinggi.
Filosofi tersebut hendaknya tetap menjadi nilai dasar dalam berdemokrasi, terutama bagi para calon pemimpin yang akan maju dalam pemilihan kepala daerah, baik sebagai calon Gubernur dan calon Bupati/Walikota di Provinsi Sumatera Barat ini.
Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang Dr. Hasanuddin, M. Si, kepada RRI, Senin (17/02/2020) mengatakan, dalam perjalanan sejarah, ada dua pola sosio kultural yang mewarnai sosio politik dan kultural masyarakat Minangkabau, berupa pola demokratis yang disebut Bodi Caniago dan pola aristokratis atau Koto-Piliang. Keduanya memberikan pengaruh besar terhadap pola kepemimpinan.
“Jadi siapapun yang akan maju sebagai pemimpin, hendaknya tetap memiliki pola kepemimpinan dasar pada masyarakat egalitarian, yakni demokratis,” tandasnya.
Disejelaskan, sesuai pola Bodi Caniago. Pimpinan tertinggi di ranah Minang, adalah Pangulu, namun dalam mengambil keputusan dilakukan secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Dalam pola kepemimpinan ini, nyaris tidak ada yang memerintah dan diperintah, karena yang memerintah sesungguhnya bukanlah personal pemimpin tetapi kemufakatan.
“Dalam ungkapan, kamanakan barajo ka mamak, mamak barajo ka pangulu, pangulu barajo ka mufakat, mufakat barajo ka nan bana, pada prinsipnya musyawarah-mufakat juga tercermin dalam kepemimpinan keluarga dan lembaga di atasnya. Lembaga musyawarah di tingkat keluarga dan di atasnya itu diungkapkan sebagai biliak ketek- biliak gadang. Persoalan keluarga diselesaikan dalam biliak ketek (bilik kecil) keluarga, kalau tidak mampu diselesaikan maka baru meningkat ke level lebih luas biliak gadang (bilik besar),” Jelas Dr Hasanudin.
Selain itu, pemimpin juga harus diingatkan untuk bersikap adil dan alim, karena jika tidak mengindahkan keadilan maka akan disanggah atau dilawan, sedangkan sifat alim akan mencegah terjadinya kedzoliman.
“Pamimpin alim- disambah, pamimpin zolim- disanggah. Bahkan, seorang pemimpin senantiasa diingatkan: hati-hati nan di ateh, nan di bawah akan maimpok,” ujarnya.
Sedangkan dalam pola aristokratis (Koto Piliang), Pimpinan tertinggi disebut Rajo atau raja. Dalam pola ini, musyawarah tetap menjadi dasar keputusan atau kebijakan, meski prosesnya bertingkat-tingkat. Di samping itu, seorang Rajo memiliki otoritas sehingga berwenang memberi perintah yang dikenal dengan titah atau titiak nan datang dari ateh.
“Meski ada dua model kepemimpinan di Minangkabau, secara umum karakter dasar masyarakatnya adalah egalitarian-demokratis sehingga pola-pola aristokratis semakin berkurang pengaruhnya dalam proses perkembangan masyarakat,” tegas Dr Hasanudin.
Oleh: Ciptati Handayani
Sumber Artikel dan Photo : rri.co.id